Rabu, 02 Maret 2011

Sulitnya Memaafkan

Memaafkan. Satu kata yang sangat mudah diucapkan. Namun, melakukannya butuh perjuangan. Dan bagiku, hanya orang yang berjiwa besarlah yang dapat memaafkan. Aku pun pernah mengalaminya. Aaah. Butuh waktu yang lama bagiku untuk memaafkan. Aku bukanlah seorang yang berjiwa besar. Sudah kubuktikan dengan kata-kataku tadi. Tetapi, haruskah kuputar lagi ingatanku yang telah kukubur dalam-dalam dengan lorong waktu? Aku tak mau mengingatnya kembali dan membiarkan hatiku yang telah sembuh kembali berdarah-darah untuk mengingatnya. Tetapi, akan kucoba membaginya.

***

Dulu, aku masih kelas 2 SMP. Yaa, masih terhitung anak kecillah. Hehehe. Aku tidak pernah ingin memiliki musuh. Aku ingin menjalani hidupku dengan tenang, sepi dari masalah, bahkan jika bisa, tanpa masalah! Tetapi, entah kenapa masalah selalu berdatangan muncul tanpa kuundang dan kuminta kehadirannya. Seperti yang akan kuceritakan sekarang ini…

Aku ini orang yang agak sensitif yah bisa disebut ‘pundungan’. Jadi, berhati-hatilah mendekatiku! Hehehe. Tapi tenang, gak bakal digigit kok! Hihi. Oke, kembali ke cerita. Waktu itu kalau tidak salah, guru agamaku menugaskanku presentasi. Dan saat giliran kelompokku maju, di saat sesi pertanyaan ada seorang teman perempuan yang menginterupsi. Bahwa suara kelompokku terlalu kecil, terlalu cepat, dan sulit ditangkap olehnya. Mungkin karena sedang kesal, aku pun menurutinya untuk mengulang presentasiku dengan intonasi yang dia inginkan. PELAN dan KERAS. Aku baca dengan sangat pelan. Nyaris satu kata per detik. Setelah kuturuti permintaan dia, aku bertanya balik kepadanya, “puas?”. Ada alasan lain sih yang membuatku bertingkah seperti itu. Menurutku, cara bertanya terkesan meremehkan dan merendahkan. Ya sudah, aku lanjutkan saja.

Tetapi yang tidak kusangka-sangka, saat penghujung akhir pelajaran, dan itu pelajaran terakhir, ia masih menyimpan (entah itu) dendam atau rasa jengkel padaku. Dia bertanya pada guru agama, “Pak, bagaimana hukumnya berkerudung buka tutup, apakah itu buruk?”. Dengan nada sinis dan (tentu saja) menuju kepadaku. Deg. Ya. Itu memang aku. Aku memang masih berkerudung buka tutup ke sekolaj. Tetapi, bisakah ia menjaga lisannya untuk tidak mengatakan hal demikian di hadapanku? Atau memang ia sengaja membuatku sakit hati? Aku rasa yang kedua. Rasanya aku ingin menangis di tempat saja. Mataku sudah agak kabur berselaput air mata yang ingin tumpah. Maklumlah, aku kan cengeng. Hehehe.

Untung saja jawaban guruku sedikit berpihak padaku. “Berkerudung seperti itu, lebih baik daripada tidak sama sekali. Tetapi, ya tentu saja alangkah baiknya jika menyempurnakan jilbab dan istiqamah dalam memakainya.” Tetapi sepertinya ia tidak peduli dengan jawabannya, ia hanya ingin membuatku sakit hati. Dan dia berhasil. Tapi aku tahu, ‘peperangan’ baru saja dimulai.

Saat bel sudah berbunyi, banyak teman-teman yang memberiku perhatian, “sabar ya, Ani…” Tetapi justru perhatian mereka malah membuat tangisku semakin tumpah ruah. Aah, aku tak ingin orang-orang melihatku menangis. Aku pun berlari ke kamar mandi. Menangis sejadi-jadinya. Setidaknya tidak ada orang yang melihatku. Mungkin hanya Allah.

***

Besoknya aku masuk dengan muka masam. Aku masih jengkel. Walaupun perasaan dendam itu tidak kuinginkan, ia tetap datang tanpa kuundang.

Dan ‘peperangan’ itu terus terjadi sepanjang aku duduk di kelas 2 SMP. Jika aku yang ada di depan kelas, aku diam saja. Mengurusi orang tak penting seperti dia bisa membuatku sakit jiwa!

Yaah, tetapi belakangan setelah itu, kutahu iabukan hanya menyebalkan untukku, tetapi ia juga sering ‘cari-cari masalah’ juga ke banyak teman sekelas yang lain. Tetapi tetap saja, musuh bebuyutannya PASTI aku. Rasanya ingin pindah sekolah saja, minimal pindah kelas!

***

Setelah beberapa bulan, lebih dari 6 bulan, ia mendatangiku pada waktu istirahat. Ia meminta maaf. Tapi ia tidak serius. Minta maaf kok malah ‘cengengesan’ sih. Tapi, aku sedang malas cari masalah waktu itu, ya sudah aku maafkan saja. Walaupun jauh di lubujkhatiku, aku sangat masih belum bisa memaafkannya. Tetapi, seperti kata pepatah, ‘waktu adalah obat yang paling mujarab', bukan?.

***

Setelah ia meminta maaf, ia masih saja mengulangi kesalahannya. Ia memang tidak serius meminta maaf! Kesal juga dengan orang seperti ini. Ingin juga sekali-kali merobek mulutnya! Ups! Hehehe.

Kusimpan rasa itu hingga lama membekas di hatiku hingga mendekati ujian akhir SMP. Walaupun ia tak lagi sekelas denganku. Dunia memang lebih tentram tanpa ada orang ‘nyebelin’ seperti dia di kelas. Susah untuk menghilangkan rasa itu. Kadang aku berpikir, kok aku sebegitu cengengnya ya? Hehehe.

Lalu, aku pun bercerita kepada temanku yang dulu lumayan dekat dengan si fulanah itu. Kuceritakan bahwa aku masih sangat kesal, belum bisa memaafkan, dan kalau ia tidak meminta maaf, aku mendoakannya agar ia tidak lulus UN! Kutahu ini sangat konyol dan kekanak-kanakan, tapi memang itulah perasaanku saat itu. Aku tidak menutupinya. Fheww, lega juga perasaanku sudah curhat. Walaupun malas mengulang masalah lagi.

***

­Kira-kira sebulan kemudian, ia mendatangiku. Gedung sekolah sedang sepi. Waktu itu hari Sabtu. Ia mendatangiku dan meminta maaf dariku (lagi). Dia bilang dia sudah berubah, dan takut dengan ‘sumpah’ku kepadanya untuk tidak lulus UN.

Dan saat itu, memang tinggal sebulan lagi untuk menghadapi UN. Huh, aku tidak suka menjadi bahan tontonan waktu itu. Apalagi aku tidak bisa menahan tangisku. Tetapi kukatakan lagi aku masih tidak bisa memaafkan.

***

Tiba saatnya doa bersama untuk UN. Teman-temanku banyak yang menangis dan berpelukan. Tidak ketinggalan pula aku! Hehehe.

Lalu si fulanah itu datang ke kelasku, entah aku yang sudah bisa membunuh egoku atau terbawa suasana, aku berpelukan dengannya. Hahaha. Konyol juga. Ya. Aku sudah bisa memaafkan. Ikhlas. Ternyata ini rasanya memaafkan. Tidak ada beban yang menggantung lagi di hatiku. Sampai sekarang, aku masih bersyukur. Bersyukur karena Allah masih memberiku kesempatan untuk memaafkan sebelum tutup usia.

***

Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar